Puisi untuk Riau yang Berkabut karena Karlahut

KEPADA RIAU

Oleh: Wan Syasya Sahira
Tri Lande

tuan sedang memainkan piano
kepada tidur-tidur panjang yang hilang
sebab kasur-kasur kini terbuat dari besi yang telah usang

waktu berlalu, tapi tak mampu menghapus dosa
ia berjalan ke belantara di dalam hati kami
hanya di sanalah hijau yang tersisa.

kemana engkau?
bunga-bunga kami telah diganti sepatu
kami termangu
memandang perut yang makin kosong
dan tubuh yang semakin gosong.

udara telah terganti asap yang dihasilkan dari tanah kebanggaan kami sendiri
cerobong setan tak hentinya memaksa kami
menghirup apa yang akan membuatmu turut sesak nanti
bukankah begitu tuan?

tuan masih menyanyikan lagu-lagu merdu
menikmati sentuhan nada satu demi satu
sedang kami menyambung jembatan hidup dan mati
yang putus tanpa damai ke dalam sebait puisi

sekelompok pribumi menyatukan diri.
di ujung jalan demonstrasi terjadi
satu per satu orasi diadopsi namun tak kunjung dieksekusi
hingga mereka bunuh diri – menyekat leher dengan napasnya sendiri.

hewan-hewan berlari dan mati
dengan hidung yang tidak sempat tertutupi
asap dan polusi mengudara tinggi
dan bermuara pada paru-paru kami

tuan masih setia dengan nada-nada dari pianonya
dari singgasana, mengalirlah doa-doa

wajah riau memucat.
pasi dan tak berdaya lagi
tidur-tidur panjang yang malang
harus berakhir dengan sesak yang tak kunjung lapang

kami mengisap bau aneh, tapi masih lebih wangi dari kentut para pelaku tak berhati
napas kami adalah karambol yang dimainkan priayi
hidung kami sudah tak berfungsi dan nyaris mati
sedang paru-paru kami lebih lelah dari sunyi

sekalipun nanti kami mati
kami akan tetap hidup di dalam puisi yang kami tulis sendiri
riau harusnya disiasati
bukan sekadar dikasihani.

“kini, yang tinggal hanya keyakinan bahwa Tuhan tak akan membiarkan kami sendiri
juga dengan diiringi nada-nada yang tuan memainkan tanpa henti
untuk memulai upacara kasih sayang di tidur yang tak bergeming –
lalu kami kembali termangu dalam hening masing-masing”

Komentar